Jumat, 13 Juli 2012

Sekelumit Novel; "Pertemuan Dua Hati"


Sesuai dengan karakteristik pada periode 80-an. Karya sastra yang dihasilkan mengangkat masalah konsep kehidupan sosial. Seperti pada novel pertemuan dua hati ini yang mengangkat kisah seorang guru yang mempunyai prinsip untuk selalu menjunjung tinggi pekerjaan sebagai seorang guru menjadi pekerjaan yang patut untuk di teladani. Bu Suci disini diceritakan memberi kontribusi yang berarti bagi anak muridnya untuk selalu membimbing mereka ke jalan yang semestinya.

Bu suci adalah seorang guru di sebuah desa di Purwodadi. Ia adalah seorang guru yang bijak serta sangat mencintai keluarganya. Namun, karena pekerjaan suaminya, bu Suci dan keluarga terpaksa pindah ke kota Semarang. Disana ia tinggal dengan suami dan ketiga anaknya serta dengan bibinya yang menjaga anak-anak bu Suci.
Bu Suci mempunyai seorang suami yang sangat pengertian terhadap keluarganya. Dia selalu mendukung apa saja yang bu Suci lakukan selama itu benar. Ia pun berniat untuk mencari pekerjaan sebagai guru kembali, karena ia sudah sangat rindu dengan pekerjaannya itu. Hingga suatu saat ia mengantarkan anaknya ke sekolah dan ia pun mendapat pekerjaan sebagai seorang guru di sekolah dasar dimana anakanya bersekolah.
Hari pertama mengajar dilalui bu Suci dengan baik. Namun, ia mulai merasa adasuatu kejanggalan yang terjadi pada kelas tersebut. Sebisa mungkin bu Suci tidak pernah mencampurkan persoalan pribadi dengan persoalan di dalam pekerjaannya. Ia berusaha profesional dengan bisa membagi waktu, agar anak-anaknya tidak pernah merasa kehilangan sosok ibu dalam dirinya.
Waskito bukan sembarang murid. Di mata temannya ia menjadi ‘monster’ yang menakutkan. Tak ada yang berani berhadapan dengannya. Lebih baik mereka menyingkir dan mengalah. Di mata guru-gurunya, Waskito adalah ‘kotoran’ yang membuat sekolah tidak nyaman. Tak heran bila guru-guru menginginkan Waskito dikeluarkan.

Bu Suci merasa tertantang. Bu Suci berjanji harus mengembalikan ‘si anak hilang’. Bu Suci harus mampu ‘menghidupkan’ Waskito. Meski untuk itu, rekan-rekan guru menjadi sinis. Tidak jarang yang mencibir. Bahkan, ada yang menuduhnya ‘ingin menjadi pahlawan’.

Bu Suci tak pernah surut langkah. Bu Suci tak pernah mengibarkan bendera putih. Berbagai cara ia tempuh. Mengunjungi kediaman Waskiko. Bertemu dengan kakek-neneknya. Mengajaknya mincing. Membuatkan kolam renang. Bahkan, mengajaknya bermain ke rumahnya sendiri untuk bertemu dengan anak-anaknya. Sementara Bu Suci sendiri menghadapi permasalahan yang pelik dengan penderitaan salah satu anaknya yang menderita epilepsi.

Apapun yang dilakukan dengan jiwa bersih, hati suci, pikiran jernih berakhir dengan kebahagiaan. Waskito pun berubah total.Bahkan, mampu menjadi juara dalam suatu perlombaan. Bu Suci mengenyam kebahagiaan sejati sebab anak yang hilang telah ditemukan.

Sebuah buku yang harus dibaca olah Guru-guru Indonesia. Direfleksikan, didarahdagingkan, dan diwujudnyatakan. Yang dibutuhkan para murid bukan ilmu pengetahuannya tetapi hati-sikap-kerendahan hati. Yang dibutuhkan para murid adalah ‘sosok pribadi’ yang layak dijadikan panutan dan teladan dalam proses menemukan jatidiri.

Maka, sangat layak jika pemerintah menghadiahi guru-guru Indonesia dengan buku NH Dini “Pertemuan Dua Hati”.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar