Minggu, 08 Juli 2012

SASTRA DAN BUDAYA MASYARAKAT INDONESIA


Sebuah karya mesti dinilai dari ukuran-ukuran estetik terlebih dahulu baru kemudian dinilai dengan ukuran yang lain. Isu apa saja yang muncul dalam kehidupan sosial, politik, budaya dan agama, dapat dijadikan titik tolak penciptaan, sebagaimana ia dapat juga diangkat menjadi bahan verbal penulisan sastra.
Begitupun sebuah Karya sastra bisa dipengaruhi oleh lingkungan sosial-kultur masyarakat yang melingkungi proses penciptaan karya sastra itu sendiri. Dalam kedudukan ini sastra memiliki kesanggupan untuk menjadi saksi sekaligus perekam jalannya perubahan zaman, seperti “Siti Nurbaya” dan “Burung-burung Rantau”. Begitu pula sebaliknya, karya sastra bisa mempengaruhi “alam rasa” dan “alam pikir” masyarakat, sekaligus sanggup membawa perubahan dalam “prilaku-budaya” bagi masyarakat pembacanya.
Sastra sebenarnya merupakan bagian dari budaya masyarakat. Terdapat hubungan yang sangat erat dan timbal balik di antara keduanya. Perkembangan kesastraan sangat dipengaruhi oleh perkembangan suatu masyarakat di mana karya sastra itu dilahirkan. Begitu pula sebaliknya, dalam batas-batas tertentu suatu karya sastra dapat mempengaruhi perkembangan budaya masyarakatnya.

Dalam tulisan ini, sedikit ulasan mengenai persoalan itu akan dikemukakan dengan mengambil contoh beberapa karya sastra (baca: roman dan novel), yang menampakkan keeratan hubungan antara karya sastra di satu sisi dengan perkembangan budaya masyarakat yang mengitari karya sastra itu pada sisi lainnya.
Roman Siti Nurbaya, yang dikarang oleh Marah Rusli lahir dari kandungan masyarakat yang tengah mengalami transformasi dari masyarakat tradisional ke “modern”.  Dengan latar belakang langit-langit budaya masyarakat Minang, yang kuat dalam memegang adat istiadat, transformasi itu diuraikan tidak berjalan secara mulus. Ada ketegangan dan konflik yang menyertainya.
Dalam roman Siti Nurbaya, bagaimana proses itu dikisahkan dalam perjalanan tokoh-tokohnya, yang terikat oleh belenggu adat istiadat di satu sisi, dan pada sisi lain ditarik oleh arus “kesadaran modern” yang cenderung menolak ikatan-ikatan tradisional itu. Siti Nurbaya merupakan saksi sejarah terjadinya pergeseran dan perubahan nilai-nilai kultural yang dihayati oleh masyarakatnya.
Contoh lain yang lebih “kekinian”, Burung-burung Rantau yang dikarang oleh Y.B Mangunwijaya, lahir dari kandungan masyarakat Indonesia yang sedang memasuki ambang kehidupan “pasca modern”. Dalam novel itu dikisahkan bagaimana globalisasi informasi telah memunculkan manusia-manusia yang berkiprah di bumi manusia tanpa dibatasi oleh patokan-patokan geo-politik (baca: Negara).
Seperti dalam Siti Nurbaya, Burung-burung Rantau-pun menggambarkan bagaimana ketegangan sosial yang ditimbulkan oleh “Post-Modernisasi” yang memasuki langit Indonesia telah menimbulkan ketegangan psikologis dalam diri manusia Indonesia. Jika dalam Siti Nurbaya terlukis kisah manusia dari suku tertentu (baca: Minang) menjadi “manusia Indonesia” yang tengah mengalami modernisasi, atau “pasca Minang”, di dalam Burung-burung Rantau, dilukiskan bagaimana “manusia Indonesia” berhadapan dengan “post-modernisasi” yang sangat kuat menarik manusia Indonesia untuk manjadi “manusia pasca Indonesia”.
Dalam dua karya sastra itu, nampak sekali tidak terpisahnya proses kelahiran atau pemunculan suatu karya sastra dari lingkungan sosio-kultural-nya.
Sampai di sini kita telah “sedikit” mendapatkan gambaran bagaimana suatu karya sastra dipengaruhi oleh perkembangan sosio-kultural di bawah “langit perubahan” (baca: alam pikir) masyarakat Indonesia, di mana karya sastra itu dilahirkan. Dan dari sini pula, kedudukan karya sastra sebagai “rekaman zaman” yang senantiasa berubah, mulai “sedikit” terlihat. (Serba sedikit, memang. Dari pada banyak, tapi serba tak jelas).
Selanjutnya, kita akan melihat bagaimana suatu karya sastra bisa mempengaruhi perkembangan budaya masyarakat di mana karya sastra itu di konsumsi.
Kurang lebih tujuhbelas tahun lalu pernah diberitakan di media-media massa, tentang kontroversi di seputar rencana pemberian penghargaan Magsaysay kepada salah seorang sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, atas keberhasilannya di bidang sastra, jurnalistik, dan komunikasi kreatif (Kompas, 14-28 Agustus 1995, dan Forum Keadilan, edisi Juli-Agustus 1995). Menyebut nama sastrawan itu, teringat akan karya-karyanya yang pernah dilarang beredar di Indonesia. Kita tentu bertanya-tanya, kenapa sebuah karya sastra bisa dilarang beredar? Apakah gerangan yang dimuat di dalamnya? Bukankah karya-karya sastra yang dilarang beredar itu hanya sebuah roman, kisah-kisah fiksi? Apakah isi ceritanya jorok-jorok seperti karya “sastra dangkal” Anny Arrow atau Nick Carter, sampai-sampai peredarannya ditidakbolehkan? Entahlah!...... Kita tidak tahu. Dan dari ketidaktahuan itu, seringkali kita merasa jengkel. Tidak bisa membuat perbandingan secara jernih.   
Sementara biarlah persoalan itu kita simpan terlebih dahulu. Sambil merasakan (secara diam-diam tentunya), tidak enaknya menyimpan ketidaktahuan. Lagi pula kepentingan kita sekarang bukan untuk mengurusi persoalan itu. Kita hanya sekedar ingin mengetahui bagaimana karya sastra bisa mempengaruhi perkembangan sosial-kultur masyarakat.
Dari persoalan yang dikemukakan di atas, sedikitnya kita bisa menemukan rujukan empiris, bahwa karya sastra benar-benar memiliki kesanggupan untuk mempengaruhi “alam pikir” masyarakat. Jika tidak, tentu tidak akan pernah ada pelarangan terhadap beredarnya suatu karya sastra.
Dalam suatu karya sastra (dalam hal ini roman atau novel), terdapat nilai-nilai yang dirumuskan dan ditawarkan oleh si pengarang kepada para pembacanya. Nilai-nilai itu merupakan derivasi dari pandangan dunia si pengarang itu sendiri. Dan biasanya nilai-nilai itu dipersonifikasikan dalam diri tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya.
Ada dua pola umum yang sering digunakan oleh si pengarang dalam melakukan personifikasi nilai. Pertama, tokoh dalam karangan tampil sebagai personifikasi nilai-nilai ideal. Tak pernah kalah, selalu jujur, berjiwa ksatria, dsb, seperti tokoh Wiro Sableng dalam seri “Kapak Maut Naga Geni 212”. Tokoh dalam kerangka ini hadir sebagai “manusia seharusnya”, yang berhadapan dengan tokoh-tokoh manusia yang “tidak seharusnya”. Nilai-nilai dikonfrontir secara hitam-putih, baik-buruk, benar salah, benar selalu menang, salah selalu kalah, tampil, dalam tokoh-tokohnya secara jelas.
Dengan cara ini, si pengarang menghendaki agar masyarakat pembacanya bisa meresapi nilai-nilai yang terdapat dalam diri si tokoh pembawa kebenaran dan kebaikan. Dari peresapan nilai itu, lebih jauh “alam rasa” dan “pikir” masyarakat pembacanya dapat terpengaruhi dan bisa mendorong terjadinya perubahan prilaku masyarakat.
Pola kedua, tokoh dalam novel atau roman tidak hadir sebagai “manusia seharusnya”, melainkan “manusia seadanya” atau “apa adanya”. Tokoh dalam kerangka ini tampil tidak melulu ideal. Ia bisa menang, bisa pula kalah. Bisa jujur, bisa berkhianat. Bisa pengecut, bisa pula berjiwa ksatria. Pokoknya segala nilai yang inherent dalam perjalanan hidup manusia diupayakan untuk hadir apa adanya.
Dari pola kedua ini, ada pesan nilai yang memang ingin ditawarkan oleh si pengarang. Namun pendekatan penyajiannya tidak “ngotot” seperti dalam pola pertama. Masyarakat diperlakukan sebagai manusia yang diajak untuk merenungkan perjalanan kemanusiaannya. Nilai yang ditemukan selama perenungan itu ditawarkan secara bebas. Apakah hendak diresapi atau dibuang. Terserah kepada masyarakat pembacanya. Seperti kisah Keluarga Gerilya, karya Pramoedya Ananta Toer. Nilai-nilai kemanusiaan tidak terpetakan secara jelas. Batas-batas antara baik dengan buruk, benar dengan salah, begitu tipis sekali, bahkan nyaris berbaur.
Dengan latar belakang Revolusi Indonesia (1945 – 1949), tokoh-tokoh yang tampil dalam Keluarga Gerilya tidak selalu sukses mempertahankan nilai-nilai kemanusiaannya. Mereka dihadirkan apa adanya sebagai manusia, bukan hadir sebagai “manusia seharusnya” yang ideal melulu. Tentu saja perubahan “alam rasa” dan “pikir” akan terjadi pula setelah menuntaskan proses perenungan lewat bacaan karya-karya sastra seperti ini. Dan perubahan itu bergerak secara dialogis, tidak monologis. Pembaca diperlakukan bukan sebagai obyek semata, tetapi subyek (baca: manusia) bebas yang menghadapi tawaran nilai-nilai.
Sampai di sini kita mendapatkan sedikit lagi kejelasan mengenai kedudukan karya sastra di tengah masyarakat. Ia semata-mata bukan pengisi hiburan “bathin” di waktu senggang, tetapi yang lebih substantive lagi; karya sastra memiliki fungsi sebagai pencerahan pikir sekaligus bathin bagi masyarakat pembacanya. Tetapi harus segera ditambahkan, tidak semua karya sastra bisa membawa pencerahan. Bahkan tidak sedikit pula yang menyesatkan dan bisa menjadikan compang-campingnya “moral-kultural” masyarakat pembacanya. Dari kerangka inilah, mungkin, Satanic Verses karya Salman Rusdhie dilarang beredar di Indonesia. Dari mana kita bisa menilai bahwa suatu karya sastra itu akan membawa dampak pencerahan atau menyesatkan terhadap perkembangan budaya masyarakat?
Tentu saja melalui penelaahan secara mendalam, hingga didapatkan pengetahuan yang jernih. “Karena menilai tanpa pengetahuan adalah kesesatan yang paling awal”.
Dari pembahasan di atas kita bisa melihat bahwa antara karya sastra (baca: roman atau novel) dengan masyarakat yang mengandung sekaligus memproses kelahirannya terdapat hubungan sangat erat dan saling timbal balik. Karya sastra bisa dipengaruhi oleh lingkungan sosial-kultur masyarakat yang melingkungi proses penciptaan karya sastra itu sendiri. Dalam kedudukan ini sastra memiliki kesanggupan untuk menjadi saksi sekaligus perekam jalannya perubahan zaman, seperti Siti Nurbaya dan Burung-burung Rantau. Begitu pula sebaliknya, karya sastra bisa mempengaruhi “alam rasa” dan “pikir” masyarakat, sekaligus sanggup membawa perubahan dalam “prilaku-budaya” bagi masyarakat pembacanya.
Sastra dalam bingkai penglihatan ini bisa merupakan media bagi “pencerahan bathin” dan “pikir”. Namun terkadang bisa pula sebuah karya sastra akan membawa pada proses penyesatan manusia dan masyarakat. Yang terpenting, bukan menyegerakan penilaian baik-buruk terhadap sebuah karya sastra, tetapi berupaya keras mengetahui secara jernih. Sekali lagi, “menilai tanpa pengetahuan adalah kesesatan yang paling awal”. (LH)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar