Sebuah karya mesti dinilai dari ukuran-ukuran estetik
terlebih dahulu baru kemudian dinilai dengan ukuran yang lain. Isu apa saja
yang muncul dalam kehidupan sosial, politik, budaya dan agama, dapat dijadikan
titik tolak penciptaan, sebagaimana ia dapat juga diangkat menjadi bahan verbal
penulisan sastra.
Begitupun sebuah Karya sastra bisa dipengaruhi oleh
lingkungan sosial-kultur masyarakat yang melingkungi proses penciptaan karya
sastra itu sendiri. Dalam kedudukan ini sastra memiliki kesanggupan untuk
menjadi saksi sekaligus perekam jalannya perubahan zaman, seperti “Siti Nurbaya” dan “Burung-burung Rantau”. Begitu pula sebaliknya, karya sastra bisa
mempengaruhi “alam rasa” dan “alam pikir” masyarakat, sekaligus sanggup membawa
perubahan dalam “prilaku-budaya” bagi masyarakat pembacanya.
Sastra sebenarnya merupakan bagian dari budaya masyarakat.
Terdapat hubungan yang sangat erat dan timbal balik di antara keduanya.
Perkembangan kesastraan sangat dipengaruhi oleh perkembangan suatu masyarakat
di mana karya sastra itu dilahirkan. Begitu pula sebaliknya, dalam batas-batas
tertentu suatu karya sastra dapat mempengaruhi perkembangan budaya
masyarakatnya.
Dalam tulisan ini, sedikit ulasan mengenai persoalan itu akan
dikemukakan dengan mengambil contoh beberapa karya sastra (baca: roman dan
novel), yang menampakkan keeratan hubungan antara karya sastra di satu sisi
dengan perkembangan budaya masyarakat yang mengitari karya sastra itu pada sisi
lainnya.
Roman Siti Nurbaya,
yang dikarang oleh Marah Rusli lahir dari kandungan masyarakat yang tengah
mengalami transformasi dari masyarakat tradisional ke “modern”. Dengan latar belakang langit-langit budaya
masyarakat Minang, yang kuat dalam memegang adat istiadat, transformasi itu
diuraikan tidak berjalan secara mulus. Ada ketegangan dan konflik yang
menyertainya.
Dalam roman Siti Nurbaya, bagaimana proses itu dikisahkan
dalam perjalanan tokoh-tokohnya, yang terikat oleh belenggu adat istiadat di satu sisi, dan pada sisi lain ditarik
oleh arus “kesadaran modern” yang cenderung menolak ikatan-ikatan tradisional
itu. Siti Nurbaya merupakan saksi
sejarah terjadinya pergeseran dan perubahan nilai-nilai kultural yang dihayati
oleh masyarakatnya.
Contoh lain yang lebih “kekinian”, Burung-burung Rantau yang dikarang oleh Y.B Mangunwijaya, lahir
dari kandungan masyarakat Indonesia yang sedang memasuki ambang kehidupan
“pasca modern”. Dalam novel itu dikisahkan bagaimana globalisasi informasi
telah memunculkan manusia-manusia yang berkiprah di bumi manusia tanpa dibatasi
oleh patokan-patokan geo-politik
(baca: Negara).
Seperti dalam Siti
Nurbaya, Burung-burung Rantau-pun
menggambarkan bagaimana ketegangan sosial yang ditimbulkan oleh
“Post-Modernisasi” yang memasuki langit Indonesia telah menimbulkan ketegangan
psikologis dalam diri manusia Indonesia. Jika dalam Siti Nurbaya terlukis kisah manusia dari suku tertentu (baca:
Minang) menjadi “manusia Indonesia” yang tengah mengalami modernisasi, atau
“pasca Minang”, di dalam Burung-burung Rantau,
dilukiskan bagaimana “manusia Indonesia” berhadapan dengan “post-modernisasi”
yang sangat kuat menarik manusia Indonesia untuk manjadi “manusia pasca
Indonesia”.
Dalam dua karya sastra itu, nampak sekali tidak terpisahnya
proses kelahiran atau pemunculan suatu karya sastra dari lingkungan sosio-kultural-nya.
Sampai di sini kita telah “sedikit” mendapatkan gambaran
bagaimana suatu karya sastra dipengaruhi oleh perkembangan sosio-kultural di
bawah “langit perubahan” (baca: alam pikir) masyarakat Indonesia, di mana karya
sastra itu dilahirkan. Dan dari sini pula, kedudukan karya sastra sebagai
“rekaman zaman” yang senantiasa berubah, mulai “sedikit” terlihat. (Serba
sedikit, memang. Dari pada banyak, tapi serba tak jelas).
Selanjutnya, kita akan melihat bagaimana suatu karya sastra
bisa mempengaruhi perkembangan budaya masyarakat di mana karya sastra itu di
konsumsi.
Kurang lebih tujuhbelas tahun lalu pernah diberitakan di
media-media massa, tentang kontroversi di seputar rencana pemberian penghargaan
Magsaysay kepada salah seorang sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, atas
keberhasilannya di bidang sastra, jurnalistik, dan komunikasi kreatif (Kompas, 14-28 Agustus 1995, dan Forum
Keadilan, edisi Juli-Agustus 1995). Menyebut nama sastrawan itu, teringat
akan karya-karyanya yang pernah dilarang beredar di Indonesia. Kita tentu
bertanya-tanya, kenapa sebuah karya sastra bisa dilarang beredar? Apakah
gerangan yang dimuat di dalamnya? Bukankah karya-karya sastra yang dilarang
beredar itu hanya sebuah roman, kisah-kisah fiksi? Apakah isi ceritanya
jorok-jorok seperti karya “sastra dangkal” Anny
Arrow atau Nick Carter,
sampai-sampai peredarannya ditidakbolehkan? Entahlah!...... Kita tidak tahu.
Dan dari ketidaktahuan itu, seringkali kita merasa jengkel. Tidak bisa membuat
perbandingan secara jernih.
Sementara biarlah persoalan itu kita simpan terlebih dahulu.
Sambil merasakan (secara diam-diam tentunya), tidak enaknya menyimpan
ketidaktahuan. Lagi pula kepentingan kita sekarang bukan untuk mengurusi
persoalan itu. Kita hanya sekedar ingin mengetahui bagaimana karya sastra bisa
mempengaruhi perkembangan sosial-kultur masyarakat.
Dari persoalan yang dikemukakan di
atas, sedikitnya kita bisa menemukan rujukan empiris, bahwa karya sastra
benar-benar memiliki kesanggupan untuk mempengaruhi “alam pikir” masyarakat.
Jika tidak, tentu tidak akan pernah ada pelarangan terhadap beredarnya suatu
karya sastra.
Dalam suatu karya sastra (dalam hal
ini roman atau novel), terdapat nilai-nilai yang dirumuskan dan ditawarkan oleh
si pengarang kepada para pembacanya. Nilai-nilai itu merupakan derivasi dari
pandangan dunia si pengarang itu sendiri. Dan biasanya nilai-nilai itu
dipersonifikasikan dalam diri tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya.
Ada dua pola umum yang sering
digunakan oleh si pengarang dalam melakukan personifikasi nilai. Pertama, tokoh dalam karangan tampil
sebagai personifikasi nilai-nilai ideal. Tak pernah kalah, selalu jujur,
berjiwa ksatria, dsb, seperti tokoh Wiro
Sableng dalam seri “Kapak Maut Naga Geni 212”. Tokoh dalam kerangka ini
hadir sebagai “manusia seharusnya”, yang berhadapan dengan tokoh-tokoh manusia
yang “tidak seharusnya”. Nilai-nilai dikonfrontir secara hitam-putih,
baik-buruk, benar salah, benar selalu menang, salah selalu kalah, tampil, dalam
tokoh-tokohnya secara jelas.
Dengan cara ini, si pengarang
menghendaki agar masyarakat pembacanya bisa meresapi nilai-nilai yang terdapat
dalam diri si tokoh pembawa kebenaran dan kebaikan. Dari peresapan nilai itu,
lebih jauh “alam rasa” dan “pikir” masyarakat pembacanya dapat terpengaruhi dan
bisa mendorong terjadinya perubahan prilaku masyarakat.
Pola kedua, tokoh dalam novel atau roman tidak hadir sebagai “manusia
seharusnya”, melainkan “manusia seadanya” atau “apa adanya”. Tokoh dalam
kerangka ini tampil tidak melulu ideal. Ia bisa menang, bisa pula kalah. Bisa
jujur, bisa berkhianat. Bisa pengecut, bisa pula berjiwa ksatria. Pokoknya
segala nilai yang inherent dalam
perjalanan hidup manusia diupayakan untuk hadir apa adanya.
Dari pola kedua ini, ada pesan nilai
yang memang ingin ditawarkan oleh si pengarang. Namun pendekatan penyajiannya
tidak “ngotot” seperti dalam pola pertama. Masyarakat diperlakukan sebagai
manusia yang diajak untuk merenungkan perjalanan kemanusiaannya. Nilai yang
ditemukan selama perenungan itu ditawarkan secara bebas. Apakah hendak diresapi
atau dibuang. Terserah kepada masyarakat pembacanya. Seperti kisah Keluarga Gerilya, karya Pramoedya Ananta
Toer. Nilai-nilai kemanusiaan tidak terpetakan secara jelas. Batas-batas antara
baik dengan buruk, benar dengan salah, begitu tipis sekali, bahkan nyaris
berbaur.
Dengan latar belakang Revolusi
Indonesia (1945 – 1949), tokoh-tokoh yang tampil dalam Keluarga Gerilya tidak selalu sukses mempertahankan nilai-nilai
kemanusiaannya. Mereka dihadirkan apa adanya sebagai manusia, bukan hadir
sebagai “manusia seharusnya” yang ideal melulu. Tentu saja perubahan “alam
rasa” dan “pikir” akan terjadi pula setelah menuntaskan proses perenungan lewat
bacaan karya-karya sastra seperti ini. Dan perubahan itu bergerak secara
dialogis, tidak monologis. Pembaca diperlakukan bukan sebagai obyek semata,
tetapi subyek (baca: manusia) bebas yang menghadapi tawaran nilai-nilai.
Sampai di sini kita mendapatkan
sedikit lagi kejelasan mengenai kedudukan karya sastra di tengah masyarakat. Ia
semata-mata bukan pengisi hiburan “bathin” di waktu senggang, tetapi yang lebih
substantive lagi; karya sastra memiliki fungsi sebagai pencerahan pikir
sekaligus bathin bagi masyarakat pembacanya. Tetapi harus segera ditambahkan,
tidak semua karya sastra bisa membawa pencerahan. Bahkan tidak sedikit pula
yang menyesatkan dan bisa menjadikan compang-campingnya “moral-kultural”
masyarakat pembacanya. Dari kerangka inilah, mungkin, Satanic Verses karya Salman Rusdhie dilarang beredar di Indonesia. Dari
mana kita bisa menilai bahwa suatu karya sastra itu akan membawa dampak
pencerahan atau menyesatkan terhadap perkembangan budaya masyarakat?
Tentu saja melalui penelaahan secara
mendalam, hingga didapatkan pengetahuan yang jernih. “Karena menilai tanpa
pengetahuan adalah kesesatan yang paling awal”.
Dari pembahasan di atas kita bisa
melihat bahwa antara karya sastra (baca: roman atau novel) dengan masyarakat
yang mengandung sekaligus memproses kelahirannya terdapat hubungan sangat erat
dan saling timbal balik. Karya sastra bisa dipengaruhi oleh lingkungan
sosial-kultur masyarakat yang melingkungi proses penciptaan karya sastra itu
sendiri. Dalam kedudukan ini sastra memiliki kesanggupan untuk menjadi saksi
sekaligus perekam jalannya perubahan zaman, seperti Siti Nurbaya dan Burung-burung
Rantau. Begitu pula sebaliknya, karya sastra bisa mempengaruhi “alam rasa”
dan “pikir” masyarakat, sekaligus sanggup membawa perubahan dalam
“prilaku-budaya” bagi masyarakat pembacanya.
Sastra dalam bingkai penglihatan ini bisa merupakan media bagi “pencerahan
bathin” dan “pikir”. Namun terkadang bisa pula sebuah karya sastra akan membawa
pada proses penyesatan manusia dan
masyarakat. Yang terpenting, bukan menyegerakan penilaian baik-buruk terhadap
sebuah karya sastra, tetapi berupaya keras mengetahui secara jernih. Sekali
lagi, “menilai tanpa pengetahuan adalah kesesatan yang paling awal”. (LH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar