Senin, 23 April 2012

Perlunya Pengembangan Kurikulum Sekolah Dalam Kebijakan Sistem Pendidikan di era Otonomi Daerah


Dalam menjalankan MBS, sekolah memiliki otorita dalam mengelola pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Sekolah diberi kewenangan untuk mengelola input pendidikan, melaksanakan proses pembelajaran, dan melakukan evaluasi hasil pendidikan. Namun, dalam beberapa hal pemerintah daerah harus melakukan pengawasan secara ketat untuk memberikan jaminan kualitas layanan yang diberikan sekolah kepada peserta didik. Oleh karena itu, diperlukan suatu mekanisme sistem kontrol yang akurat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. Sistem kontrol itu, bukan penyeragaman buku laporan pendidikan atau melakukan Ulangan Umum Bersama melainkan menciptakan suatu mekanisme yang sahih.


Pengembangan Kurikulum Sekolah
Dalam bidang pendidikan, kurikulum merupakan unsur penting dalam setiap bentuk dan model pendidikan yang mana pun. Tanpa adanya kurikulum, sulit rasanya perencana pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan yang diselenggarakannya. Mengingat pentingnya peran kurikulum, maka kurikulum perlu dipahami dengan baik oleh semua pelaksana kurikulum.Pada kenyataannya, sementara pihak memang ada yang memahami kurikulum itu hanya dalam arti kata yang sempit, yaitu kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan siswa guna mencapai suatu tingkatan tertentu. Jika demikian adanya, maka dinamika PBM serta kreativitas guru dan murid akan terhenti. Guru dan murid hanya terhenti pada sasaran materi yang dicanangkan pada buku kurikulum itu saja tanpa memperhatikan aspek lain yang telah berkembang begitu cepat di masyarakat. Di lain pihak memang ada yang memandang kurikulum dalam arti luas, yaitu kurikulum yang menyangkut semua kegiatan yang dilakukan dan dialami peserta didik dalam perkembangan, baik formal maupun informal guna mencapai tujuan pendidikan.Beane (1986) membagi kurikulum dalam empat jenis, yaitu (1) kurikulum sebagai produk, (2) kurikulum sebagai program, (3) kurikulum sebagai hasil belajar yang diinginkan, dan (4) kurikulum sebagai pengalaman belajar bagi siswa. Hal ini seiring dengan pendapat Said Hamid Hasan (1988) yang berpendapat bahwa setidak-tidaknya terdapat empat dimensi kurikulum, yaitu (a) kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi, (b) kurikulum sebagai rencana tertulis, (c) kurikulum sebagai suatu kegiatan atau proses, dan (d) kurikulum sebagai hasil belajar.Kurikulum sekolah kita dalam arti produk masih mengandung banyak kerancuan. Sekolah-sekolah di tingkat SD, SMP, dan SMA serta SMK memiliki kurikulum yang amat sarat dengan mata pelajaran. Dampak nyata yang terlihat ialah daya serap peserta didik tidak optimal dan mereka cenderung belajar tentang banyak hal, tetapi dangkal. Kurikulum 1975 dirasakan amat membengkak dan sangat gemuk di samping kurikulum tersebut dalam arti program terlalu berorientasi pada produk belajar, bukannya proses belajar. Kemudian kurikulum itu direvisi lagi dengan munculnya kurikulum 1984 yang konon telah mementingkan proses belajar dan perampingan. Namun perampingan itu juga tidak tuntas, sehingga ada komentar bahwa Kurikulum 1984 itu ramping, tetapi “montok”. Akibatnya juga mengundang rendahnya daya serap para peserta didik.Persoalan lain yang dianggap cukup urgen dalam kurikulum ialah tumpang tindih baik secara vertikal maupun secara horizontal. Secara vertical materi di kelas satu muncul lagi di kelas dua atau kelas tiga untuk mata pelajaran yang sama. Sedangkan secara horizontal muncul berbagai pokok bahasan yang sama pada beberapa mata pelajaran yang berbeda. Kesemuanya itu tentu tidak akan menguntungkan bila dilihat dari proses belajar mengajar, peserta didik akan merasa jemu untuk mengikutinya.Masalah berikutnya yang berkaitan dengan aspek kurikulum dalam arti proses belajar dan pengalaman belajar memiliki kaitan yang erat dengan perilaku guru di depan kelas dalam konteks belajar mengajar. Kurikulum dalam arti produk hanya seperti blueprint bagi suatu proses membangun sebuah gedung yang monumental. Bagaimanapun bagusnya blueprint yang telah disiapkan seorang arsitektur, blueprint tersebut akan tidak bermakna tanpa adanya pelaksana yang kompeten dalam bidang bangunan di lokasi gedung itu akan didirikan. Analog ini, kurikulum masih memerlukan intervensi dan kearifan seorang guru yang akan mengajarkannya di depan kelas.
Kebijakan pemerintah yang terbaru, tahun 2006, yaitu Permen 22 tentang Standar Isi dan Permen 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan, dan Permen 24 tentang Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan masih sangat multi tafsir. Banyak di antara tenaga kependidikan menyebutnya dengan Kurikulum 2006, padahal dalam ketentuan itu diungkapkan bahwa kurikulum itu harus disusun oleh sekolah dengan mengikutsertakan komite sekolah. Ada pula yang menyebutnya dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), padahal itu peristilah yang diberikan bagi kurikulum tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut, sekolah harus mengembangkan kurikulumnya, sehingga kelak akan ada Kurikulum SD Negeri 1 Depok atau Kurikulum SMP Negeri 13 Depok. Dalam tataran kebijakan, pemerintah daerah harus dengan segera menyusun rambu-rambu pengembangan KTSP sehingga dapat dijadikan acuan pengembangan kompetensi lokal yang harus dikembangkan di daerah. Oleh karena itu, tampaknya masih sangat diperlukan sosialisasi secara mantap dan menyeluruh bagi tenaga kependidikan di daerah, sehingga pengembangan kurikulum dapat mulai dipersiapkan oleh semua pihak dengan mengikutsertakan pakar di daerah yang menguasai bidang ini.
Bertolak dari kenyataan masih banyak persoalan yang dihadapi serta masih banyak pekerjaan bidang pendidikan yang belum diimplementasikan, tampaknya perlu segera kita kaji kembali secara saksama. Mungkinkah konsep desentralisasi pendidikan ini masih menyiratkan berbagai persoalan atau mungkin pula kita yang salah dalam menapsirkan dan memahaminya. Akan sangat bijak, apabila kita coba berpikir dengan jernih, bahwa pendidikan adalah sebuah investasi jangka panjang dalam mempersiapkan SDM yang unggul dan kompetitif. Pendidikan merupakan projek masa depan mempersiapkan bangsa berkualitas. Oleh karena itu, sebaiknya marilah kita memposisikan diri pada fungsi, kewenangan, dan peran masing-masing sesuai kemampuan dan kompetensi dalam pendidikan. Perencanaan pendidikan di Kabupaten/Kota memerlukan kesungguhan dan peranserta dari berbagai pihak, karena pendidikan merupakan sektor yang telah diotonomkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Berbagai kebijakan pendidikan terkini, tampaknya harus segera diakses oleh semua pelaku pendidikan agar kita tidak tertinggal dengan kebijakan makro, meso, maupun kebijakan mikro dalam bidang pendidikan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar