Senin, 23 April 2012

"Pelatihan bagi guru; sebuah upaya meningkatkan kompetensi"


Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, seorang guru diharapkan memiliki empat kompetensi yang memadai, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Dengan penguasaan keempat kompetensi itu diharapan para guru dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya secara profesional. Namun, kenyataan yang ada di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar guru belum menampakkan keprofesionalannya dalam melaksanakan tugas dan kewajiban itu. Hal itu di antaranya disebabkan oleh lemahnya kompetensi pedagogik dan kompetensi preofesional yang dimilikinya. Sehubungan dengan hal itu dapat dikemukakan ilustrasi sebagai berikut.
Kehidupan masyarakat di era globalisasi informasi sekarang ini menuntut kemampuan seseorang dalam berkomunikasi, baik secara reseptif maupun secara produktif, baik menerima maupun menuangkan ide serta pikirannya secara cepat dan tepat, baik secara lisan maupun tertulis. Dalam kehidupan masyarakat seperti ini, komunikasi merupakan salah satu kunci kehidupan yang harus dikuasai karena dengan penguasaan kemampuan berkomunikasi ini orang akan lebih mudah dalam menerima dan mengirim berbagai informasi. Untuk dapat berkomunikasi dengan baik seperti itu, diperlukan penguasaan penggunaan bahasa sebagai sarana komunikasi.
       
    Dalam kegiatan berbahasa, ada empat keterampilan berbahasa yang memiliki hubungan erat, yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Dari keempat keterampilan berbahasa tersebut, keterampilan berbicara dan menulis sering dianggap sebagai bentuk keterampilan berbahasa yang dianggap cukup sulit karena merupakan kegiatan yang produktif dan ekspresif. Keterampilan berbicara dan menulis juga merupakan suatu kemampuan yang diperoleh melalui proses berlatih. Artinya, keterampilan itu tidak datang  dengan sendirinya atau dikuasai dengan serta-merta, tetapi melalui dan memerlukan latihan.
            Dalam kehidupan moderen, keterampilan berbahasa seperti itu sangat diperlukan. Namun dalam kenyataannya, pembelajaran keterampilan berbahasa kurang disenangi atau diperhatikan siswa karena para guru cenderung lebih memfokuskan diri pada penyampaian pembelajaran tentang bahasa daripada pembelajaran berbahasa. Kenyataan seperti ini tidak seluruhnya bersumber pada faktor siswa, namun faktor guru, terutama dalam hal cara penyampaian materi pembelajaran juga perlu mendapat perhatian serius.
Sebagai contoh kasus dapat dikemukakan temuan Alwasilah (dalam Sumarwati, 1997:5) dalam mengamati berbagai naskah yang masuk dalam sebuah lomba penulisan karya ilmiah. Berdasarkan naskah yang masuk pada panitia lomba karya ilmiah maupun lomba yang lain, dapat dikatakan bahwa para pelajar, bahkan para mahasiswa, belum mampu membuat laporan penelitian yang berkualitas. Hal ini disebabkan oleh belum memadainya kemampuan berbahasa mereka, khususnya bahasa tulis. Untuk mengatasi hal itu, diperlukan adanya reorientasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia dari SD sampai perguruan tinggi.
            Kenyataan seperti yang dikemukkan oleh Alawasilah di atas menunjukkan bahwa pembelajaran menulis di sekolah perlu diberikan mulai sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas karena keterampilan itu sangat diperlukan dalam kehidupan. Sebagai salah satu keterampilan berbahasa yang kompleks, keterampilan ini perlu diajarkan dan dilatihkan secara terus-menerus. Keterampilan menulis merupakan keterampilan berbahasa yang cukup rumit karena kemampuan ini mencakup kemampuan-kemampuan lain yang lebih khusus dan perlu mendapatkan perhatian tersendiri. Kemampuan khusus itu antara lain menyangkut pemakaian ejaan, tanda baca, kosakata, struktur kalimat, dan penyusunan atau pengembangan paragraf (Akhadiah, 1988). Setiap siswa harus dibekali dengan kemam­puan untuk menyampaikan ide dan pikirannya secara tertulis (menulis) kepada pihak lain. Setiap siswa harus mampu menuangkan sebuah ide menjadi bentuk tertulis secara logis, jelas, ringkas, dan sesuai dengan kaidah tata bahasa, dari bentuk yang paling sederhana sampai bentuk yang kompleks. Kemampuan menulis kelak diperlukan dalam segala macam karir dan pekerjaan (Ismail, 1997).
            Syafe'i (1988) menyatakan bahwa seseorang yang berbakat menulis atau tidak berbakat menulis sebenarnya sama-sama memiliki kesempatan untuk menjadi penulis. Kesempatan dalam belajar menulis lebih banyak dalam menentukan keberhasilannya menjadi seorang penulis. Namun demikian, walaupun pembelajaran menulis (mengarang) telah disa­dari sebagai bagian yang sangat esensial dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, dalam kenyataannya pembelajaran menulis kurang mendapatkan perhatian yang sewajarnya. Pelly & Efendi (1992) mengatakan bahwa pelajaran membaca dan menulis yang dahulu merupakan pelajaran dan latihan pokok saat ini kurang mendapatkan perhatian, baik dari para siswa maupun para guru. Pembelajaran menulis selama ini tidak ditangani sebagaimana mestinya. Para siswa dan guru biasanya lebih memfokuskan kegiatan pelajaran pada materi-materi teoretik yang mengarah pada keberhasilan siswa dalam pencapaian nilai ujian nasional. Hal ini mengakibatkan keterampilan menulis para siswa tidak berkembang. Dengan tegas Badudu (1985) berpendapat bahwa rendahnya mutu kemampuan menulis siswa disebabkan oleh kenyataan bahwa pengajaran mengarang dianaktirikan.
             Berdasarkan pengamatan sehari-hari terhadap kompetensi para siswa, diperoleh informasi bahwa keterampilan para siswa dalam menulis masih jauh dari yang diharapkan. Kondisi semacam itu tentu saja disebabkan oleh banyak faktor: (i) rendahnya minat, budaya, dan kompetensi baca para siswa, (ii) kurangnya pelatihan menulis bagi para siswa, (iii) tidak tersedianya contoh dan keteladanan dari para guru, (iv) rendahnya kualitas pembelajaran keterampilan berbahasa, khususnya dalam keterampilan menulis, dan (v) faktor-faktor lain yang cukup banyak.
Sebagai contoh, pembelajaran menulis yang dilakukan di sekolah-sekolah selama ini,  pada umumnya, tidak didasarkan pada perencana yang matang. Biasanya tugas mengarang diberikan kepada siswa dengan memberikan judul, topik, atau tema tertentu. Tugas itu dapat dikerjakan di kelas atau di rumah. Jika tugas itu berkenaan dengan jenis karangan yang pendek biasanya siswa diminta untuk mengerjakannya di kelas. Apabila tugas itu berkenaan dengan jenis karangan yang panjang, biasanya siswa diberi waktu dua atau tiga hari. Hasil karangan siswa itu biasanya tidak diperiksa oleh guru. Seandainya diperiksa oleh guru pun tanpa didasarkan pada kaidah penilaian yang baku. Di samping itu, siswa tidak pernah mendapatkan umpan balik apa pun dari guru dan bahkan tidak pernah diberi kesempatan untuk mendiskusikan kekurangan dan kelebihannya. Kesempatan untuk kerja kolaboratif antarteman, saling mengoreksi, mengedit, atau menyunting, tidak pernah diberikan oleh guru.
Di sisi lain, tugas mengarang pada umumnya sangat jarang diberikan kepada siswa. Dalam satu catur wulan atau semester siswa mendapat tugas mengarang hanya dua atau tiga kali. Hal itu tentu saja kurang memadai atau tidak sesuai dengan harapan yang tertuang dalam kurikulum yang tengah dimulai pemberlakuannya.
Ilustrasi di atas merupakan salah satu contoh kasus pembelajaran yang terjadi di sekolah-sekolah. Berdasarkan ilustrasi di atas, pembelajaran di sekolah sebaiknya segera mendapat perhatian dan penanganan yang serius. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini diupayakan adanya suatu tindakan nyata melalui pelatihan agar para guru memiliki kompetensi yang memadai dalam melaksanakan perbaikan pembelajaran. Dengan kata lain, para guru akan mendapatkan langkah dan format yang tepat dalam meningkatkan kemampuan dan keterampilan siswa sesuai mata pelajaran yang diampunya.
Untuk itu, salah satu langkah yang harus diambil oleh para guru ialah melakukan penelitian secara intensif. Penelitian itu bukan dalam kerangka pengembangan ilmu melainkan terutama dalam pengembangan dan atau peningkatan kualitas pembelajarannya, yang ujung-ujungnya ialah untuk pengembangan kepribadian dan atau kompetensi siswa. Salah satu bentuk penelitian yang dapat dilakukan guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran itu ialah penelitian tindakan kelas. Namun demikian, sampai saat ini kebiasaan melakukan penelitian tindakan kelas dalam rangka perbaikan pembelajaran itu belum biasa dilakukan oleh para guru. Hal itu bukan disebabkan oleh rendahnya komitmen guru dalam melakukan perbaikan pembelajaran, tetapi oleh rendahnya kompetensi dalam melaksanakan berbagai bentuk penelitian, khususnya penelitian tindakan kelas. Jadi, yang menjadi akar permasalahan ialah para guru tidak memiliki kompetensi dan pengalaman yang cukup dalam melaksanakan penelitian tindakan kelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar