menjelajah segala bentuk kreativitas
poetica, mulai teknik berpantun
hingga isi tematik dari hikayat Don
Quixote
GOENAWAN Mohamad sebenarnya
penyair yang bekerja dengan nalar seorang pencerita,” simpul sastrawan Nur Zen
Hae, saat memberikan ceramah pada
peluncuran dua buku kumpulan puisi
Goenawan Mohamad, 70 Puisi dan Don Quixote, di Jakarta, Rabu (27/7/2011) lalu.
Penyigian Zen Hae atas perjalanan
kepenyairan Goenawan Mohamad yang sudah setengah abad berakhir pada kesimpulan
bahwa dia adalah penyair yang penting sekaligus berbahaya.
“Penting karena sajak-sajaknya jadi
cetak biru puisi Indonesia, berbahaya karena permainan citraan visualnya yang
membuai dan menyilaukan,” terang Zen.
Secara umum, perjalanan kepenyairan
Goenawan Mohamad memperoleh pengaruh dari Chairil Anwar, Amir Hamzah, dan
Miguel de Cervantes Saavedra.
Antara Chairil dan Goenawan, Zen Hae
melihat ada kesamaan orientasi kepenyairan. Chairil dan Goenawan sama-sama
berniat melepas ikatan tradisi.
Goenawan mengeksplisitkan visi
kepenyairan pribadinya sebagai ‘keseorangan yang benar-benar utuh’ lewat esai
bertajuk Potret Seorang Penyair Muda sebagai Malin Kundang. “Karena
itulah Goenawan meninggalkan Batang, tanah kelahirannya dan memasuki ranah
kebudayaan
yang baru,” terang Zen Hae.
Orientasi visi kepenyairan menuntun
dia melakukan migrasi kultural demi mencapai otentisitas sebagai ‘keseorangan
yang benar-benar utuh’ melebur dalam tradisi kultural sebuah bangsa, Indonesia.
Migrasi kultural memberanikan
Goenawan Mohamad menerima segala pengaruh sekaligus secara kreatif
mengolah pengaruh yang ia terima demi menghasilkan kreasi karya yang lebih
segar dan baru.
Dari Chairil, Goenawan mempelajari
kreativitas dalam mengelola dan mengolah teknik pantun poetica yang berpusat
pada sampiran dan isi. Pakem klasik pembagian pantun yang sebatas dua baris
pertama sebagai sampiran dan diikuti dengan dua baris berikut sebagai isi dalam
satu bait mendapat pengolahan yang segar.
Pakem dua baris di bantah dengan
menghasilkan tiga baris, bahkan satu baris, atau satu bait sebagai arena
sampiran—untuk kemudian disusulkan dengan kejutan naratif yang menjadi isi
tematik sajak.
Sajak Cambridge memperlihatkan
kelenturan memainkan pola sampiran dan isi dalam sebuah sajak. Goenawan
mengolah tiga bait pertama yang berisi untaian baris:
‘70 camar pucat
hinggap
di gelombang yang beku
Sungai jadi kedap
Putih merambat
Surya layu
Ranting jadi rangka, tebing muram
durja.
Hari menyembilu
menjadi pintu pembuka pada isi yang
penuh misteri di bait ke empat: Pagi ini tak ada koran untukku’.
Masih dari Chairil, Goenawan pun
mereguk inspirasi mengenai ihwal membangun suasana lewat penataan citra visual
yang menyengat sebagai bagian
dari konstelasi sampiran demi
mencapai loncatan visi tematik yang menjadi isi di bait akhir sebuah sajak.
Pola demikian tampak terang pada
sajak Dingin tak Tercatat: ‘Dingin tak tercatat/pada termometer//Kota hanya
basah//Angin sepanjang sungai/
mengusir, tapi kita tetap saja//di
sana. Seakan-akan/gerimis raib/
dan cahaya berenang//mempermainkan
warna//Tuhan, kenapa kita bisa/bahagia?’
Pada sajak tersebut, untaian baris
dari ‘dingin tak tercatat’ hingga ‘mempermainkan warna’ ialah semata
sampiran yang dirancang dengan kejelian penataan suasana dengan intensitas yang
meningkat
secara perlahan dan citra visual
yang berjalin paralel dengan realitas kesunyian yang kontemplatif. Puncak
jelajah sampiran itu berakhir pada
isi di dua baris di bait akhir:
‘Tuhan, kenapa kita bisa/bahagia?’
Klimaks yang tercipta dari kontras
sampiran dan isi menempatkan sajak Dingin tak Tercatat sebagai sajak
yang tak sekadar menyengat ranah
emosi pembaca, tapi juga mengusik
nalar sehat pembaca.
Sajak Dingin tak Tercatat menjelma
menjadi gagasan, ide, yang sering kali sulit untuk dibedakan dari pembicaraan
menyangkut ihwal filsafat.
Dengan mencermati sajak-sajak
Goenawan yang erat dengan gagasan filsafat, Zen Hae melihat kepiawaian
Goenawan untuk tidak sekadar
‘menubuhkan’ filsafat ke dalam
puisi, tapi lebih kepada visi menggantikan filsafat dengan puisi.
Zen Hae mencatat fragmen VII dari
sajak Pastoral merupakan puisi yang punya visi menjadi filsafat yang
berbicara tentang waktu:
‘Detik ada lah lugut/yang
bertebar/di tengah Oktober/dan hari gatal/dan ajal turun/pada jam yang menyulap
kapas/ke dalam embun’.
Saat menapak di hikayat Don
Quixote, kelana kreatif Goenawan Mohamad tak henti di dalam negeri. Ia
menjelajah hingga ke padang asing, semisal hikayat Don Quixote dari
Cervantes, sastrawan tanah Matador. Interaksi Goenawan Mohamad dengan hikayat Don
Quixote yang terangkum dalam buku kumpulan sajak Don Quixote
melahirkan karakterisasi ‘aku’
yang asing.
Hal itu amat jelas lewat
perbandingan antara karakterisasi ‘aku’ pada sajak Chairil Anwar dan sajak
Goenawan Mohamad. Pada sajak Chairil Anwar, ‘aku’ hadir dalam suasana kejiwaan
yang liar dan berobsesi menjadi sosok pahlawan yang abadi.
Pada sajak Goenawan Mohamad, ‘aku’
tampil sebagai sosok yang dekat dengan pandir, irasional, dan yang paling
mencolok adalah bersikap antipahlawan. Dengan menyimak penjelajahan kepenyairan
Goenawan yang mulai berpijak di Indonesia lalu meloncat ke lain negara, Spanyol
di Benua Eropa, Zen Hae mencatat hal penting yang patut diinsyafi.
“Goenawan menyadarkan kita bahwa
khazanah sastra sangat luas, tidak sekadar tunduk pada nasionalisme, tetapi
bertualang menjelajah dunia.”
Suara Goenawan
Sebelum menutup malam peluncuran
buku puisinya dengan membacakan sajak 30 Menit sebelum Sayid Hamid,
Goenawan angkat suara tentang penyair dan puisi. Ia yakin bahwa penyair lebih
buruk daripada puisi. “Penyair selalu egois dan selalu tidak menarik.
Beda dengan puisi,” ungkapnya—entah sebagai sebuah pernyataan kerendahan hati,
atau kesaksian akan kesucian puisi.
Namun, ia menutup malam yang menjadi
bagian dari perayaan 70 tahun kelahiran dirinya, dengan membacakan sajak 30
Menit sebelum Sayid Hamid, yang ia gubah dengan strategi naratif Borgesian—
sebuah strategi penulisan yang memungkinkan percakapan subtil antara pengarang
dan tokoh, penyair dan subjek lirik, yang memuncak pada dialog Sang Khalik
dengan makhluk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar