Senin, 23 April 2012

Lebih Dekat dengan Goenawan Mohamad "Dari Pantun hingga Don Quixote"


Sajak-sajak Goenawan Mohamad kental akan kehendak untuk bercerita. Ia
menjelajah segala bentuk kreativitas poetica, mulai teknik berpantun
hingga isi tematik dari hikayat Don Quixote


GOENAWAN Mohamad  sebenarnya penyair yang bekerja dengan nalar seorang pencerita,” simpul sastrawan Nur Zen Hae, saat memberikan ceramah pada
peluncuran dua buku kumpulan puisi Goenawan Mohamad, 70 Puisi dan Don Quixote, di Jakarta, Rabu (27/7/2011) lalu.
Penyigian Zen Hae atas perjalanan kepenyairan Goenawan Mohamad yang sudah setengah abad berakhir pada kesimpulan bahwa dia adalah penyair yang penting sekaligus berbahaya.
“Penting karena sajak-sajaknya jadi cetak biru puisi Indonesia, berbahaya karena permainan citraan visualnya yang membuai dan menyilaukan,” terang Zen.
Secara umum, perjalanan kepenyairan Goenawan Mohamad memperoleh pengaruh dari Chairil Anwar, Amir Hamzah, dan Miguel de Cervantes Saavedra.
Antara Chairil dan Goenawan, Zen Hae melihat ada kesamaan orientasi kepenyairan. Chairil dan Goenawan sama-sama berniat melepas ikatan tradisi.
Goenawan mengeksplisitkan visi kepenyairan pribadinya sebagai ‘keseorangan yang benar-benar utuh’ lewat esai bertajuk Potret Seorang Penyair Muda sebagai Malin Kundang. “Karena itulah Goenawan meninggalkan Batang, tanah kelahirannya dan memasuki ranah kebudayaan
yang baru,” terang Zen Hae.
Orientasi visi kepenyairan menuntun dia melakukan migrasi kultural demi mencapai otentisitas sebagai ‘keseorangan yang benar-benar utuh’ melebur dalam tradisi kultural sebuah bangsa, Indonesia.
Migrasi kultural memberanikan Goenawan Mohamad menerima segala pengaruh  sekaligus secara kreatif mengolah pengaruh yang ia terima demi menghasilkan kreasi karya yang lebih segar dan baru.
Dari Chairil, Goenawan mempelajari kreativitas dalam mengelola dan mengolah teknik pantun poetica yang berpusat pada sampiran dan isi. Pakem klasik pembagian pantun yang sebatas dua baris pertama sebagai sampiran dan diikuti dengan dua baris berikut sebagai isi dalam satu bait mendapat pengolahan yang segar.
Pakem dua baris di bantah dengan menghasilkan tiga baris, bahkan satu baris, atau satu bait sebagai arena sampiran—untuk kemudian disusulkan dengan kejutan naratif yang menjadi isi tematik sajak.
Sajak Cambridge memperlihatkan kelenturan memainkan pola sampiran dan isi dalam sebuah sajak. Goenawan mengolah tiga bait pertama yang berisi untaian baris:
‘70 camar pucat
hinggap
di gelombang yang beku
Sungai jadi kedap
Putih merambat
Surya layu
Ranting jadi rangka, tebing muram durja.
Hari menyembilu
menjadi pintu pembuka pada isi yang penuh misteri di bait ke empat: Pagi ini tak ada koran untukku’.

Masih dari Chairil, Goenawan pun mereguk inspirasi mengenai ihwal membangun suasana lewat penataan citra visual yang menyengat sebagai bagian
dari konstelasi sampiran demi mencapai loncatan visi tematik yang menjadi isi di bait akhir sebuah sajak.
Pola demikian tampak terang pada sajak Dingin tak Tercatat: ‘Dingin tak tercatat/pada termometer//Kota hanya basah//Angin sepanjang sungai/
mengusir, tapi kita tetap saja//di sana. Seakan-akan/gerimis raib/
dan cahaya berenang//mempermainkan warna//Tuhan, kenapa kita bisa/bahagia?’
Pada sajak tersebut, untaian baris dari ‘dingin tak tercatat’ hingga ‘mempermainkan warna’ ialah semata sampiran yang dirancang dengan kejelian penataan suasana dengan intensitas yang meningkat
secara perlahan dan citra visual yang berjalin paralel dengan realitas kesunyian yang kontemplatif. Puncak jelajah sampiran itu berakhir pada
isi di dua baris di bait akhir: ‘Tuhan, kenapa kita bisa/bahagia?’
Klimaks yang tercipta dari kontras sampiran dan isi menempatkan sajak Dingin tak Tercatat sebagai sajak yang tak sekadar menyengat ranah
emosi pembaca, tapi juga mengusik nalar sehat pembaca.
Sajak Dingin tak Tercatat menjelma menjadi gagasan, ide, yang sering kali sulit untuk dibedakan dari pembicaraan menyangkut ihwal filsafat.
Dengan mencermati sajak-sajak Goenawan yang erat dengan  gagasan filsafat, Zen Hae melihat kepiawaian Goenawan untuk tidak sekadar
‘menubuhkan’ filsafat ke dalam puisi, tapi lebih kepada visi menggantikan filsafat dengan  puisi.
Zen Hae mencatat fragmen VII dari sajak Pastoral merupakan puisi yang punya visi menjadi  filsafat yang berbicara tentang waktu:
‘Detik ada lah lugut/yang bertebar/di tengah Oktober/dan hari gatal/dan ajal turun/pada jam yang menyulap kapas/ke dalam embun’.

Saat menapak di hikayat Don Quixote, kelana kreatif Goenawan Mohamad tak henti di dalam negeri. Ia menjelajah hingga ke padang asing, semisal hikayat Don Quixote dari Cervantes, sastrawan tanah Matador. Interaksi Goenawan Mohamad dengan hikayat Don Quixote yang terangkum dalam buku kumpulan sajak Don Quixote melahirkan karakterisasi ‘aku’
yang asing.
Hal itu amat jelas lewat perbandingan antara karakterisasi ‘aku’ pada sajak Chairil Anwar dan sajak Goenawan Mohamad. Pada sajak Chairil Anwar, ‘aku’ hadir dalam suasana kejiwaan yang liar dan berobsesi menjadi sosok pahlawan yang abadi.
Pada sajak Goenawan Mohamad, ‘aku’ tampil sebagai sosok yang dekat dengan pandir, irasional, dan yang paling mencolok adalah bersikap antipahlawan. Dengan menyimak penjelajahan kepenyairan Goenawan yang mulai berpijak di Indonesia lalu meloncat ke lain negara, Spanyol di Benua Eropa, Zen Hae mencatat hal penting yang patut diinsyafi.
“Goenawan menyadarkan kita bahwa khazanah sastra sangat luas, tidak sekadar tunduk pada nasionalisme, tetapi bertualang menjelajah dunia.”

Suara Goenawan
Sebelum menutup malam peluncuran buku puisinya dengan membacakan sajak  30 Menit sebelum Sayid Hamid, Goenawan angkat suara tentang penyair dan puisi. Ia yakin bahwa penyair lebih buruk daripada puisi. “Penyair  selalu egois dan selalu tidak menarik. Beda dengan puisi,” ungkapnya—entah sebagai sebuah pernyataan kerendahan hati, atau kesaksian akan kesucian puisi.
Namun, ia menutup malam yang menjadi bagian dari perayaan 70 tahun kelahiran dirinya, dengan membacakan sajak  30 Menit sebelum Sayid Hamid, yang ia gubah dengan strategi naratif Borgesian— sebuah strategi penulisan yang memungkinkan percakapan subtil antara pengarang dan tokoh, penyair dan subjek lirik, yang memuncak pada dialog Sang Khalik dengan makhluk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar