Kehidupan masyarakat di era globalisasi informasi sekarang
ini menuntut kemampuan seseorang dalam berkomunikasi, baik secara reseptif
maupun secara produktif, baik menerima maupun menuangkan ide serta pikirannya
secara cepat dan tepat, baik secara lisan maupun tertulis. Dalam kehidupan
masyarakat seperti ini, komunikasi merupakan salah satu kunci kehidupan yang
harus dikuasai karena dengan penguasaan kemampuan berkomunikasi ini orang akan
lebih mudah dalam menerima dan mengirim berbagai informasi. Untuk dapat
berkomunikasi dengan baik seperti itu, diperlukan penguasaan penggunaan bahasa
sebagai sarana komunikasi.
Dalam kegiatan berbahasa, ada empat
keterampilan berbahasa yang memiliki hubungan erat, yaitu menyimak, membaca,
berbicara, dan menulis. Dari keempat keterampilan berbahasa tersebut,
keterampilan berbicara dan menulis sering dianggap sebagai bentuk keterampilan
berbahasa yang dianggap cukup sulit karena merupakan kegiatan yang produktif
dan ekspresif. Keterampilan berbicara dan menulis juga merupakan suatu
kemampuan yang diperoleh melalui proses berlatih. Artinya, keterampilan itu
tidak datang dengan sendirinya atau
dikuasai dengan serta-merta, tetapi melalui dan memerlukan latihan.
Dalam kehidupan moderen,
keterampilan berbahasa seperti itu sangat diperlukan. Namun dalam kenyataannya,
pembelajaran keterampilan berbahasa kurang disenangi atau diperhatikan siswa
karena para guru cenderung lebih memfokuskan diri pada penyampaian pembelajaran
tentang bahasa daripada pembelajaran berbahasa. Kenyataan seperti ini tidak
seluruhnya bersumber pada faktor siswa, namun faktor guru, terutama dalam hal
cara penyampaian materi pembelajaran juga perlu mendapat perhatian serius.
Mengapa Menulis
Penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar dari tahun ke tahun mengalami degradasi.
Degradasi penggunaan bahasa Indonesia tidak hanya dilihat dari rendahnya siswa
dan guru dalam melakukan interaksi proses pembelajaran di kelas, melainkan juga
rendahnya hasil ujian nasional (UN) bahasa Indonesia bagi siswa dan uji
kemahiran bahasa Indonesia (UKBI) bagi guru. Kenyataan yang ironik itu
diungkapkan Rektor Universitas Muhammadyah Prof Dr Hamka (Uhamka), Suyatno,
ketika menyampaikan orasi ilmiah saat ia dikukuhkan sebagai guru besar bidang
ilmu pendidikan bahasa beberapa waktu yang lalu.
Menurut Suyatno, rendahnya kemampuan berbahasa Indonesia
atau pendidikan
bahasa akan
sangat berdampak pada rendahnya kemampuan membaca dan kemampuan menulis.
"Sangat jarang ditemukan siswa atau pun guru yang memiliki karya tulis
yang berbobot dan memiliki nilai ilmiah dengan kualitas bahasa Indonesia yang
tinggi," katanya.
Menurut pandangan Suyatno, guru-guru sekarang dan akan datang seharusnya berada pada minimal tingkatan madya (skor 465-592) agar dapat berdampak pada pembelajaran bahasa Indonesia yang menyenangkan dan mampu meningkatkan nilai UN bahasa Indonesia yang akan datang, sekaligus mengefektifkan proses pembelajaran yang ada.
Menurut pandangan Suyatno, guru-guru sekarang dan akan datang seharusnya berada pada minimal tingkatan madya (skor 465-592) agar dapat berdampak pada pembelajaran bahasa Indonesia yang menyenangkan dan mampu meningkatkan nilai UN bahasa Indonesia yang akan datang, sekaligus mengefektifkan proses pembelajaran yang ada.
"Seyogianya, kemampuan bahasa Indonesia yang baik atau
unggul tidak hanya dimiliki guru-guru bahasa Indonesia, tapi juga guru-guru di
luar bidang studi bahasa Indonesia. Mereka sejatinya juga Pembina bahasa Indonesia,
sebab bahasa pengantar pembelajarannya menggunakan bahasa Indonesia.
Dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya, seorang guru diharapkan memiliki empat
kompetensi yang memadai, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi profesional,
kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Dengan penguasaan keempat
kompetensi itu diharapan para guru dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya
secara profesional. Namun, kenyataan yang ada di lapangan menunjukkan bahwa
sebagian besar guru belum menampakkan keprofesionalannya dalam melaksanakan
tugas dan kewajiban itu. Hal itu di antaranya disebabkan oleh lemahnya
kompetensi pedagogik dan kompetensi preofesional yang dimilikinya.
Berdasarkan pengamatan sehari-hari terhadap kompetensi para
siswa, diperoleh informasi bahwa keterampilan para siswa dalam menulis masih
jauh dari yang diharapkan. Kondisi semacam itu tentu saja disebabkan oleh
banyak faktor: (i) rendahnya minat, budaya, dan kompetensi baca para siswa,
(ii) kurangnya pelatihan menulis bagi para siswa, (iii) tidak tersedianya
contoh dan keteladanan dari para guru, (iv) rendahnya kualitas pembelajaran
keterampilan berbahasa, khususnya dalam keterampilan menulis, dan (v)
faktor-faktor lain yang cukup banyak.
Sebagai contoh, pembelajaran menulis yang dilakukan di sekolah-sekolah
selama ini, pada umumnya, tidak
didasarkan pada perencanaan yang matang. Biasanya tugas mengarang diberikan
kepada siswa dengan memberikan judul, topik, atau tema tertentu. Tugas itu
dapat dikerjakan di kelas atau di rumah. Jika tugas itu berkenaan dengan jenis
karangan yang pendek biasanya siswa diminta untuk mengerjakannya di kelas.
Apabila tugas itu berkenaan dengan jenis karangan yang panjang, biasanya siswa
diberi waktu dua atau tiga hari. Hasil karangan siswa itu biasanya tidak diperiksa
oleh guru. Seandainya diperiksa oleh guru pun tanpa didasarkan pada kaidah
penilaian yang baku. Di samping itu, siswa tidak pernah mendapatkan umpan balik
apa pun dari guru dan bahkan tidak pernah diberi kesempatan untuk mendiskusikan
kekurangan dan kelebihannya. Kesempatan untuk kerja kolaboratif antarteman,
saling mengoreksi, mengedit, atau menyunting, tidak pernah diberikan oleh guru.
Di sisi lain, tugas mengarang pada umumnya sangat jarang
diberikan kepada siswa. Dalam satu catur wulan atau semester siswa mendapat
tugas mengarang hanya dua atau tiga kali. Hal itu tentu saja kurang memadai
atau tidak sesuai dengan harapan yang tertuang dalam kurikulum yang tengah
dimulai pemberlakuannya.
Ilustrasi di atas merupakan salah satu contoh kasus
pembelajaran yang terjadi di sekolah-sekolah. Berdasarkan ilustrasi di atas,
pembelajaran di sekolah sebaiknya segera mendapat perhatian dan penanganan yang
serius. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini diupayakan adanya suatu
tindakan nyata melalui pelatihan agar para guru memiliki kompetensi yang
memadai dalam melaksanakan perbaikan pembelajaran. Dengan kata lain, para guru
akan mendapatkan langkah dan format yang tepat dalam meningkatkan kemampuan dan
keterampilan siswa sesuai mata pelajaran yang diampunya.
Menulis Satu Bentuk Komunikasi yang Efektif
Aktivitas
menulis sebagai suatu bentuk manifestasi kemampuan (dan keterampilan) berbahasa
paling akhir dikuasai manusia setelah kemampuan mendengarkan, berbicara, dan
membaca. Kemampuan menulis lebih sulit dikuasai bahkan oleh penutur asli bahasa
yang bersangkutan sekalipun. Hal itu disebabkan kemampuan menulis menghendaki
unsur kebahasaan dan di luar bahasa itu sendiri.
Syafe'i (1988) menyatakan bahwa
seseorang yang berbakat menulis atau tidak berbakat menulis sebenarnya
sama-sama memiliki kesempatan untuk menjadi penulis. Kesempatan dalam belajar
menulis lebih banyak dalam menentukan keberhasilannya menjadi seorang penulis.
Namun demikian, walaupun pembelajaran menulis (mengarang) telah disadari
sebagai bagian yang sangat esensial dalam pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia, dalam kenyataannya pembelajaran menulis kurang mendapatkan perhatian
yang sewajarnya.
Pelly & Efendi (1992) mengatakan bahwa pelajaran membaca
dan menulis yang dahulu merupakan pelajaran dan latihan pokok saat ini kurang
mendapatkan perhatian, baik dari para siswa maupun para guru. Pembelajaran
menulis selama ini tidak ditangani sebagaimana mestinya. Para siswa dan guru
biasanya lebih memfokuskan kegiatan pelajaran pada materi-materi teoretik yang
mengarah pada keberhasilan siswa dalam pencapaian nilai ujian nasional. Hal ini
mengakibatkan keterampilan menulis para siswa tidak berkembang. Dengan tegas
Badudu (1985) berpendapat bahwa rendahnya mutu kemampuan menulis siswa
disebabkan oleh kenyataan bahwa pengajaran mengarang dianaktirikan.
Ditambah dengan adanya anggapan yang berkembang di masyarakat
bahwa sebagian besar guru tidak mampu menulis dan menghasilkan karya.
Ketidakmampuan guru menulis dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Pertama, minat rendah. Rendahnya minat menjadi salah satu
faktor dasar yang menyebabkan guru tidak menulis. Motivasi menulis yang
dimiliki guru masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini diperparah dengan tidak
adanya upaya yang dilakukan guru untuk meningkatkan minat menulisnya.
Kedua, tidak menguasai masalah yang dikaji. Tidak dapat
dipungkiri bahwa telah ada guru yang menulis, namun masalah yang dikaji masih
tidak dikuasai. Dengan kata lain, masalah yang dikaji tidak terfokus.
Ketiga, produktivitas rendah. Minat dan produktivitas
berbanding lurus. Apabila minat menulis tinggi maka produktivitas tulisan juga
tinggi. Sebaliknya, apabila minat menulis rendah maka produktivitas tulisan
juga rendah.
Keempat, lingkungan tidak mendukung. Situasi dan kondisi
lingkungan tidak mendukung guru untuk menulis. Hal ini dapat dilihat masih
kurangnya apresiasi positif, dari Pemerintah Daerah yang mendukung guru untuk
berkarya.
Kelima, cenderung plagiat. Adanya indikasi yang menunjukkan
bahwa tulisan-tulisan yang dihasilkan guru cenderung plagiat. Ada kesamaan
dengan tulisan yang dibuat orang lain. Sehingga tulisan guru masih jadi tanda
tanya.
Keenam, landasan teorinya lemah. Kurang membaca merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan landasan teori lemah. Hal ini disebabkan
tidak adanya kajian perbandingan yang dilakukan saat menulis. Selain itu, tidak
ada studi referensi secara mendalam sebelum menulis.
Jika
kita merujuk pada Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara No. 19 Tahun
2009, menulis menjadi suatu hal yang wajib bagi guru. Ada tiga alasan, mengapa guru harus menulis.
Pertama, pada abad teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini, fungsi
bahasa tulis sangat luas dan mencakup semua aspek kehidupan manusia. Kedua,
hampir semua aktivitas manusia di berbagai sektor membutuhkan keterampilan
menulis. Ketiga, sejumlah penemuan dalam berbagai ilmu pengetahuan “diabadikan”
melalui tulisan, baik berupa artikel ilmiah, buku maupun yang lainnya.
Sekarang
dan ke depan pekerjaan guru tidak hanya melakukan kegiatan mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi siswa melalui jalur
pendidikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi juga, guru
dituntut mampu menyampaikan ide, gagasan, pendapat, dan penemuan dalam bidang
pengetahuan yang “diabadikan” dalam tulisan.
Dengan
menulis guru dapat saling berbagi informasi, wawasan, dan pengetahuan dengan
siapa saja tanpa batas. Tidak berlebihan ungkapan yang menyatakan bahwa dengan
“menguasai keterampilan menulis, seseorang dapat berkomunikasi melampaui batas
waktu dan ruang”. SEMOGA.
DAFTAR BACAAN.
Akhadiah,
Sabarti, dkk. (1988). Pembinaan Kemampuan
Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta :
Erlangga.
Badudu,
Yus. (1985). Pelajaran Mengarang Di anak tirikan, Kompas, halaman 4, tanggal 21 Oktober 1985.
Enre,
Facrudin Ambo. (1988). Dasar-dasar
Keterampilan Menulis. Jakarta :
Ditjen Dikti.
Kolam edukasi.kompas.com
Nurgiyantoro,
Burhan. 1999. Penilaian dalam Pengajaran
Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE, UGM.
Pelly,
Usman, dan Efendi, Rustam Amir. (1992). Pelajaran Membaca dan Menulis Harus
Diutamakan Kembali, Kompas, halaman
12, tanggal 12 Maret 1992.
Syaddad,
Awaluddin. (2012) Menanti Implementasi Permenpan No.16 Tahun 2009, Makasar,
Dunia Pendidikan No. 149, Maret 2012.
Syafe'i, Imam. (1988). Retorika
dalam Menulis. Malang : FPBS IKIP Malang .
Zuchdi,
Darmiyati. (1996). Pembelajaran Menulis
dengan Pendekatan Proses. Pidato Ilmiah pada Sidang Senat FPBS IKIP
Yogyakarta tanggal 15 November 1996.
setuju deh dengan ibu. saya sekarang sedang berlatih menulis lewat blog. salam kenal.
BalasHapus